Senin, 06 Januari 2020

SELAMAT DATANG DI BLOG YANG MELIANA - KULIAH ILMU HUKUM

selamat datang di blog Yang meliana

bagi kalian yang mencari refrensi tentang perlindungan hukum bagi konsumen pengguna internet, semoga tulisan di bawah ini bisa menjadi refrensi kalian yah..semoga bermanfaat


Pengertian Konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.

Penggunaan klausula baku atau perjanjian baku dalam perjanjian jual beli, memang secara Hukum Perdata diakui sah karena tidak adanya unsur pemaksaan kehendak di dalamnya, yakni jika konsumen menyetujui perjanjian maka ia sudah tahu mengenai segala sesuatu risiko yang akan ditanggungnya. Namun jika ia menolak klausula baku maka para pengusaha tidak akan memaksanya. Artinya, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam klausula baku itu dibuat hanya oleh salah satu pihak saja yaitu pihak pengusaha. Namun, dalam hal ini tetap diberikan kepada konsumen untuk menentukan pilihannya yakni adanya hak untuk menerima klausula baku tersebut (take it) ataupun menolaknya (leave it). Semua tergantung kepada konsumen. Oleh karena itulah, klausula baku ini lebih dikenal dengan istilah “take it or leave it contract”. Pada prakteknya, konsumen demi memenuhi kebutuhan hidupnya tidak jarang juga menyetujui klausula baku yang telah terlebih dahulu ditetapkan oleh pengusaha.
Melihat kondisi demikian, sering kali pengusaha membuat isi klausula baku itu cenderung lebih menguntungkan dirinya sendiri, sehingga timbullah ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara pengusaha dengan konsumen. Permasalahan ini pula yang pernah terjadi yakni antara PT. Telekomunikasi Indonesia yang merupakan satu-satunya BUMN telekomunikasi serta penyelenggara layanan telekomunikasi dan jaringan terbesar di Indonesia dengan pelanggan atau konsumennya. Permasalahan timbul ketika pihak konsumen merasa dirugikan dengan klausula baku yang dibuat oleh PT. Telkom dimana dalam layanan internet IndiHome memberikan tiga fasilitas berlangganan disebut Triple Play, yang terdiri dari:[80]
1.     Internet on Fiber atau High Speed Internet yaitu layanan internet berkecepatan tinggi menggunakan Fiber optik dari PT. Telkom Indonesia yang memiliki unggulan lebih cepat dan stabil.
2.     UseeTV Cable, yaitu layanan Televisi Interaktif dan personalized berteknologi internet protocol.
3.     Dan telepon rumah, yaitu layanan Komunikasi telepon dengan keunggulan biaya yang lebih murah dan kualitas suara yang jernih.

Dalam layanan Triple Play beberapa pelanggan yang ingin berhenti berlangganan dengan alasan paling banyak yaitu mahalnya harga yang akandibayar per bulannya, pelanggan ingin beralih ke operator intenet lain. Sering terjadinya gangguan jaringan dengan sistem fiber optik yang sering mati apabila terjadi hujan. Ada juga yang diiming-imingkan paket internet dan TV kabel dengan harga Rp 200.000,- selama 1 tahun. Namun dalam satu bulan tagihan pembayarannya digunakan tarif normal yakni Rp 300.000,- lebih, maka dari itu tidak sesuai dengan promo yang diberitahukan awalnya.[81]
Adapun kronologis permasalahan klausula baku PT. Telkom dengan pelanggan internet IndiHome adalah sebagai berikut: Pelanggan yang awalnya tertarik untuk menggunakan layanan internet Indihome ditawarkan dengan fasilitas yang menarik dan menguntungkan yang dapat diperoleh pelanggan apabila bersedia untuk menyetujui kontrak berlangganan yang sudah ditetapkan oleh pihak PT. Telkom. Pelanggan biasanya jarang untuk membaca kontrak tersebut dan langsung menandatangani kontrak karena penempatan klausula baku yang sulit dibaca dan kecil penulisaannya. Setelah pelanggan sepakat untuk menikmati fasilitas internet IndiHome, PT. Telkom akan memberikan pesawat telepon yang baru, modem internet, dan pesawat TV satelit yang dapat digunakan sesuai kebutuhan pelanggan.



Namun apabila pelanggan ingin berhenti berlangganan layanan IndiHome yang dipasang program TriplePlay (Internet, Telepon, UseeTV) maka secaraotomatis layanan TriplePlay tersebut akan dicabut. Sesuai dalam   berlangganan layanan IndiHome Pasal 2 butir 2.1.9 tentang Kewajiban Pelanggan berbunyi,
“Menyerahkan perangkat CPE milik TELKOM yang terinstal di alamat pelanggan untuk layanan IndiHome, apabila pelanggan berhenti berlangganan layanan IndiHome”.

Dilihat dari pasal tersebut, PT. Telkom tidak memenuhi hak pelanggan untuk mendapatkan informasi yang jelas sesuai yang tertulis di kontrak berlangganan layanan IndiHome. Sehingga isi pasal tersebut tidak menegaskan bahwa berhenti berlangganan layanan TriplePlay beserta nomor telepon harus diserahkan kembali kepada pihak Telkom. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa pelanggan menyerahkan perangkat CPE apabila ingin berhenti langganan IndiHome. Perangkat CPE (Customer Premises Equipment) itu sendiri merupakan terminal dan terkait peralatan yang terletak pada lokasi pelanggan yang terhubung ke jaringan telekomunikasi operator. Contohnya pesawat telepon atau ADSL modem.
 Yang membuktikan bahwa nomor telepon bukan termasuk dalam perangkat CPE. Tetapi dalam prakteknya, Pihak Telkom mengambil seluruh perangkat CPE yang sudah terinstal dalam program TriplePlay serta mencabut nomor telepon pelanggan yang terdaftar. Padahal nomor telepon tersebut bukan merupakan bagian dari perangkat CPE. Hal inilah yang dianggap merugikan konsumen atas klausula baku yang dibuat yang tidak memenuhi hak pelanggan untuk mendapatkan informasi yang jelas sesuai yang tertulis di kontrak berlangganan layanan IndiHome yaitu Pasal 2.2 butir 2.2.3 tentang Hak pelanggan:
“Mendapatkan informasi mengenai spesifikasi teknis, sifat-sifat dan karakteristik umum layanan IndiHome yang disediakan PT. Telkom.”

PT. Telkom sendiri tidak pernah memberitahukan dalam iklannya atau dalam promosinya bahwa nomor telepon juga harus diserahkan kembali kepada pihak PT. Telkom. Padahal nomor telepon tersebut bukan merupakan bagian dari layanan Triple Play. Yang mengalami kerugian akan hal tersebut yaitu koorperasi, industri rumah tangga, toko online, warnet, dan sebagainya. Berdasarkan kondisi yang tidak seimbang ini, perlindungan hukum yang diberikan untuk konsumen berdasarkan sifatnya yaitu:

1.     Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasanbatasan dalam melakukan suatu kewajiban. Misalnya, UU No. 8Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang membatasi hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam PT. Telkom khususnya layanan internet TriplePlay.









2.     Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Yaitu dengan penyelesaian di Pengadilan Negeri (PN) atau di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pemerintah juga memberikan perlindungan kepada konsumen dari tindakan sewenang-wenang dari pelaku usaha terkait pemakaian klausula baku dalam setiap perjanjian jual beli.

Dalam hal ini, pemerintah mengatur mengenai ketentuan apa saja yang boleh dimasukkan ke dalam klausula baku dan hal yang dilarang untuk dicantumkan, dengan tujuan agar konsumen tidak dirugikan. Pengaturan mengenai klausula baku tersebut diatur dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1988, yang menyatakan sebagai berikut:[82] (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk perdagangan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a.     Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b.     Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen
c.     Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d.     Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik scara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
e.     Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang dan pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
f.      Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa
g.     Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa atauran baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Berkaitan dengan pasal 18, pemerintah melindungi konsumen dengan memberikan pengaturan terbatas pada penyusunan perjanjian baku pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yakni dilarang adanya suatu bentuk peralihan tanggung jawab dari pelaku usaha dalam memproduksi barang dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh konsumen.
Menyangkut hal ini terdapat dalam perjanjian baku kontrak berlangganan layanan IndiHome oleh PT. Telkom dalam Pasal 4 tentang Pembatasan Tanggung Jawab Telkom yang menjelaskan bahwa: Telkom dibebaskan dari tanggung jawab atas pembayaran kompensasi atau kerugian yang telah ditanggung oleh pelanggan, baik kerugian langsung ataupun tidak langsung sebagai akibat dari berfungsinya sambungan layanan IndiHome, karena:

1.     Kerusakan/ganguan layanan IndiHome akibat kesalahan pelanggan;
2.     Perubahan jaringan akses, perubahan nama atau jaringan telekomunikasi PT. Telkom;
3.     Kegagalan interkoneksi jaringan layanan IndiHome dengan penyelenggara telekomunikasi lain;
4.     Kesalahan tagihan akibat dari akses/pemakaian jasa layanan IndiHome yang disediakan oleh penyelengara jasa telekomunikasi lain diluar PT. Telkom;
5.     Kerusakan akibat peristiwa/kejadian diluar batas kendali normal PT. Telkom (force majeur).

Dilihat dari apa yang terkandung dalam kontrak berlangganan layanan IndiHome ini pihak PT. Telkom telah melakukan pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha dalam memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh konsumen. Padahal seharusnya PT. Telkom bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, perubahan jaringan akses internet, kegagalan interkoneksi jaringan internet, kesalahan tagihan, dan kerusakan akibat peristiwa diluar batas kendali tersebut karena bukanlah sepenuhnya kesalahan pada pihak konsumennya yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 1 (a) UUPK. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku d itempat yang tersembunyi, ditulis dengan huruf kecil yang tidak keliatan dengan jelas sehingga sulit untuk dipahami oleh masyarakat. Terhadap klausula baku yang memuat Pasal 18 ayat (1) dan (2) ini dinyatakan batal demi hukum. Namun dalam kenyataannya salah satu pelaku usaha yaitu dalam formulir berlangganan layanan IndiHome menempatkan perjanjian baku di balik lembaran formulirnya yang dicetak tidak terang warnanya serta penulisan yang sangat kecil sehingga tidak dapat dibaca dengan jelas oleh konsumen.
Dengan demikian, tampaklah peranan pemerintah untuk melindungi konsumen terhadap penggunaan klausula baku yang telah terlebih dahulu ditetapkan oleh pelaku usaha dengan memberikan batasan-batasan tertentu yang tidak menghilangkan hak dari konsumen, sehingga terdapatnya keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Jika, terhadap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha baik yang berkaitan dengan klausula baku yang menjebak konsumen ataupun hal-hal lain yang merugikan hak dan kepentingan konsumen, maka konsumen dapat mengajukan gugatan dan menuntut pelaku usaha sesuai dengan hukum yang berlaku. Adapun peran pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada konsumen ada dua cara, yaitu :[83]

1.     Pembinaan

Peranan pemerintah dalam melindungi konsumen dilakukan melalui pembinaan diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa,

“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.



Pembinaan ini diselenggarakan sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha, dan memastikan agar setiap pelaku usaha dan konsumen melakukan apa yang menjadi kewajibannya.[84] Agar terdapatnya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika hal ini telah tercipta, maka akan mengurangi terjadinya sengketa konsumen. Tugas pembinaan dalam rangka memberikan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait.
Fungsi pasal ini berkaitan dengan masalah skripsi yang penulis angkat yaitu adanya pembinaan dari pemerintah terhadap PT. Telkom untukmemberitahukan informasi, kelebihan atau kekurangan yang bersangkutan dengan produk yang diperdagangkan secara jelas kepada konsumennya sehingga konsumen tidak merasa dirugikan nantinya apabila mereka setuju untuk melakukan perjanjian terhadap PT. Telkom yaitu layanan IndiHome sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Beberapa tugas pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut :

1)    Menciptakan iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, yang terdapat dalam Pasal 4 PP No. 5 Tahun 2001, yaitu :

a)     Menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen
b)    Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
c)     Meningkatkan peran BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga
d)    Meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan
e)     Meneliti terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen
f)     Meningkatkan kualitas barang dan jasa
g)    Meningkatkan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa
h)    Meningkatkan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku.

2)    Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya mayarakat yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 5, yaitu:

a)     Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
b)    Melakukan pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan
c)     Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen yang dimaksudkan untuk meningkatkan sumber daya manusia.


2.     Pengawasan

Upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah dalam pengawasan diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat (1) yaitu,

“Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan Perundang undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Hal ini dikarenakan banyaknya ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasaran.

a)     Pengawasan oleh pemerintah

Tugas pengawasan pemerintah dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Bentuk pengawasan oleh pemerintah diatur dalam PP No.8 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen pada Pasal 8, yaitu pengawasan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label, klausula baku, promosi, periklanan, serta pelayanan purnajual barang dan/atau jasa. Pengawasan dilakukan dalam bentuk mengawasi proses produksi, penawaran, promosi, dan penjualan barang dan/atau jasa

b)    Pengawasan oleh Masyarakat

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini, yaitu masyarakat dapat mengawasi barang dan/atau jasa yang beredar di pasaran yang dilakukan melalui cara penelitian, pengujian, atau survei. Aspek pengawasan meliputi pengumpulan informasi tentang risiko penggunaan barang dan/atau jasa, serta pengiklanan yang berlebihan. Hasil dari pengawasan ini dapat diberitahukan kepada masyarakat luas dan dapat disampaikan kepada menteri terkait.

c)     Pengawasan oleh LPKSM

d)    Bentuk pengawasan yang dilakukan LPKSM sama dengan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Adapun tambahan lain adalah survey yang dilakukan oleh LPKSM mengenai barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan dan kenyamanan, dan keselamatan konsumen. Survei dapat dilakukan berdasarkan laporan dari masyarakat baik perorangan atau kelompok.


Hak Informasi Dalam Kontrak Berlangganan Layanan IndiHome Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Berdasarkan masalah mengenai kesalahan informasi yang dilakukan oleh Telkom Group kepada pengguna layanan IndiHome berdasarkan kontrak berlangganan layanan IndiHome. Dapat kita ketahui bahwa baik antara pelaku usaha dan konsumen memiliki hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Sebelum adanya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, pelaku usaha akan melakukan berbagai upaya atau cara penyampaian untuk memasarkan produk barang dan atau jasanya sebelum digunakan oleh konsumen.

Penyampaian informasi yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen di dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memang tidak diatur secara rinci dan tegas. Namun dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dijadikan sebagai rujukan atas penjelasan istilah tersebut, yaitu:[85]

“Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan”.

Berdasarkan bunyi dari Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.8 Tentang Perlindungan Konsumen dapat disimpulkan bahwa “penyampaian informasi” termasuk dalam kegiatan “promosi”. Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok sebelum konsumen memutuskan untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang dan/atau jasa tersebut. Informasi pemasangan layanan IndiHome dilakukan dengan cara penyebaran pamflet atau pemasangan baliho/spanduk yang terdapat di pinggiran jalan, pemasangan iklan di stasiun televisi ataupun iklan di media sosial, serta penyampaian informasi dari petugas IndiHome yang membuka stand promotion di berbagai tempat.
Informasi pemasangan layanan Indihome yang ditawarkan kepada masyarakat berupa keunggulan-keunggulan produk Triple Play yaitu tidak hanya mendapatkan fasilitas layanan internet berkecepatan tinggi tetapi sekaligus mendapatkan layanan TV kabel dan telepon rumah dengan biaya yang lebih murah. Tahap-tahap untuk melakukan pemasangan layanan IndiHome, yaitu pertama proses pendaftaran yang dapat dilakukan secara online maupun datang ke kantor PT. Telkom terdekat. Kedua, konfirmasi pendaftaran yaitu melakukanpembayaran sesuai paket yang telah dipilih untuk berlangganan internet. Ketiga, konfirmasi pemasangan yaitu petugas datang untuk melakukan survei dan melakukan instalasi pemasangan kabel. Dan keempat, penyelesaian pemasangan instalasi jaringan yang memberitahukan layanan internet IndiHome yang terinstal sudah aktif.
Namun selama melakukan promosi sampai pemasangannya pun pihak PT. Telkom tidak pernah memberitahukan kepada calon konsumen kelemahankelemahan yang ada dalam produk tersebut dan hanya keunggulannya saja. Salah satunya adalah apabila nantinya konsumen hendak mencabut atau berhenti berlangganan layanan internet IndiHome, maka semua perangkat yang terinstal akan ikut dicabut termasuk nomor telepon yang terdaftar padahal nomor telepon bukanlah salah satu perangkat dari layanan Triple Play IndiHome.
Padahal informasi merupakan salah satu hak yang paling mendasar bagi konsumen, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Adapun aturan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang mendapatkan hak informasi yang dilarang bagi pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa kepada konsumen yang tidak jelas terdapat dalam Pasal 8 Undang-UndangNo.8 Tentang Perlindungan Konsumen dalam hal melindungi hak-hak konsumen, yaitu:[86]

1)    Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a)     Tidak memenuhi atau tidak sesua dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b)    Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c)     Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d)    Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e)     Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f)     Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g)    Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatanyang paling baik atas barang tertentu;
h)    Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i)      Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j)      Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

2)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud;

3)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat, atau bekas dan teremar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar;

4)    Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang meperdagangkan barang dan/atau jasa tesebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa informasi merupakan hal yang penting bagi konsumen, karena melalui informasi konsumen dapat mempergunakan hak pilihnya secara benar. Untuk itu, para pelaku usaha yang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut, harus memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Apabila pelaku usaha melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 UUPK, maka UUPK mengatur secara tegas bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pelaku usaha tersebut atas perbuatan yang ia lakukan.
Apabila pelaku usaha tidak memberikan informasi secara jelas kepada konsumen sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 8 huruf j yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dihubungkan dengan Pasal 19 ayat (1) maka pelaku usaha bertanggung jawab atas perbuatannya tesebut.
Sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 19 ayat (1) yaitu pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jadi pelaku usaha harus memberikan informasi secara jelas dan benar kepada konsumen mengenai kondisi barang dan/atau jasa yang mereka produksi. Sekalipun barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usahamengandung cacat tersembunyi dalam produknya tersebut, maka pelaku usaha haruslah memberikan informasi mengenai kondisi produk tersebut dengan konsumen. Hal ini dimaksudkan agar konsumen tidak menderita kerugian akibat dari perbuatan pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang secara jelas tentang produknya tersebut.
Apabila pelaku usaha tidak memberikan informasi yang secara jelas kepada konsumen mengenai kondisi barang dan/atau jasanya tersebut maka pelaku usaha harus bertanggung jawab atas perbuatannya seperti yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Oleh sebab itu, permasalahan skripsi ini melihat hak informasi yang diterima konsumen dalam kontrak berlangganan layanan Internet IndiHome belum sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Karena dilihat dari beberapa pasal dalam kontrak IndiHome belum memberikan informasi secara jelas mengenai produk-produk yang ditawarkan yaitu mengenai hak dan kewajiban pelanggan, terlihat dari Pasal 2.1.9 tentang kewajiban pelanggan yang menyatakan,

Menyerahkan perangkat CPE milik Telkom yang terinstal di alamat pelanggan untuk layanan IndiHome, apabila pelanggan berhenti berlangganan layanan IndiHome.”

Klausula tersebut memang telah memberikan informasi yang cukup jelas. Berdasarkan pasal 1.7 tentang pengertian yang menyatakan,

“Perangkat Costumer Premises Equipment (CPE) terdiri dari modem, Optical Network Terminal (ONT) dan Set Top Box (STB) yang merupakan milik PT. Telkom dan disewakan kepada pelanggan selama pelanggan berlangganan layanan IndiHome.”

Dilihat dari pengertiannya, perangkat CPE merupakan terminal dan terkait peralatan yang terletak pada lokasi pelanggan yang terhubung ke jaringan telekomunikasi operator. Yang berarti hanya perangkat keras saja yang disewakan oleh Telkom terhadap pelanggannya. Namun dalam prakteknya selama ini, apabila pelanggan berhenti berlangganan layanan IndiHome, pihak Telkom akan mengambil seluruh perangkat CPE yang sudah terinstal dalam program Triple Play serta mencabut nomor telepon pelanggan yang terdaftar. Padahal nomor telepon tersebut bukan merupakan bagian dari perangkat CPE itu sendiri. Ketidaklengkapan informasi yang diberikan Telkom Group ini sangat merugikan hak konsumen jika ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf (c) yaitu:

“Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.

Ditinjau juga dari Pasal 2.2.3 Kontrak Berlangganan Layanan IndiHome tentang Hak Pelanggan, yaitu :
“Mendapatkan informasi mengenai spesifikasi teknis, sifat-sifat dan karakteristik umum layanan IndiHome yang disediakan Telkom”.


Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa setiap konsumen tentu saja tidak menginginkan menderita kerugian akibat mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa. Informasi yang jelas dan benar tentang suatu barang dan/atau jasa mutlak diberikan kepada konsumen oleh pelaku usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa. Menurut Shidarta mengenai hak untuk mendapatkan informasi yang benar bahwa:[87]
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor, atau apapun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang dan/atau jasa. Pasal 3 huruf



[80] Product Bundles, https://shop.telkom.co.id/product-bundles diakses pada tanggal 15 September 2018
[81] Beberapa Alasan Berhenti Menggunakan Layanan IndiHome TriplePlay,
[82] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 18. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42)
[83] Happy Susanto., Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta 2008, hal 63.
[84] Ibid. hal. 34.
[85] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
 Konsumen, Pasal 1 angka 6. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42)
[86] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42)
[87] Shidarta, 2004, Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm


24.

HUKUM DELIK ADAT

DOWNLOAD FILE DISINI